Bandung, UPI 
Sarjana baru patut bersyukur karena menjadi bagian dari lapisan  masyarakat terpelajar yang dapat menikmati pendidikan sampai ke  perguruan tinggi, pada saat partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia  baru mencapai 29,15 persen. Bahkan menurut Susenas BPS (2014), terjadi  kesenjangan partisipasi pendidikan pada penduduk kelompok umur 19-23  tahun antar-lapisan masyarakat berlatar belakang sosial-ekonomi yang  berbeda.
“Data menunjukkan, tingkat partisipasi pendidikan tinggi pada  kelompok kuantil 1 (sebesar 20 persen masyarakat paling miskin) baru  mencapai 14,1 persen, sementara kelompok kuantil 5 (sebesar 20 persen  masyarakat paling kaya) sudah mencapai 45,5 persen,” kata Amich Alhumami  saat memberikan sambutan sebagai Wakil Ketua Ikatan Alumni UPI pada  Acara Wisuda Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Selasa  (15/12/2015), di Gedung Gymnasium UPI Jln. Dr. Setiabudhi No. 229  Bandung.
Amich Alhumami yang alumnus Fakultas Ilmu Pendidikan UPI tahun 1989  ini mengemukakan, dengan melihat data kesenjangan partisipasi pendidikan  di atas, para sarjana selayaknya berucap syukur karena telah berhasil  menyelesaikan pendidikan tinggi. Menjadi sarjana merupakan tahapan baru  dalam memasuki kehidupan nyata di masyarakat dan mengembangkan karier  profesional di berbagai bidang kehidupan. Mengingat UPI adalah  universitas LPTK, maka sebagian besar dari lulusan akan menekuni profesi  guru, mengabdi kepada negeri tercinta dan ikut serta dalam mencerdaskan  kehidupan bangsa.

“Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah lapangan pengabdian bagi para  pendidik. Ikhtiar panjang membangun pendidikan yang bermutu tidak bisa  dilepaskan dari peran guru sebagai pendidik. Guru adalah figur sentral  dalam seluruh proses pembelajaran di sekolah — guru adalah sukma  pendidikan,” ujar Amich yang menyelesaikan pendidikan doktoral (Ph.D.)  bidang Social Anthropology di University of Sussex, United Kingdom,  2012.
Dikatakan, guru yang berkompeten merupakan faktor penentu kualitas  dan efektivitas belajar-mengajar di sekolah. Guru yang bermutu  berpengaruh langsung pada kinerja pendidikan secara keseluruhan. Tanpa  bermaksud bersikap hiperbolik, harus dikatakan bahwa guru adalah pilar  utama kualitas pendidikan — professional teacher isthe cornerstone of the quality education in Indonesia.
”Tak diragukan, guru berperan penting dalam seluruh proses  pembelajaran yang sangat dinamis. Sangat jelas, mutu pendidikan  ditentukan oleh kualitas guru. Kurikulum –yang kerap menyulut polemik  nasional itu– anya faktor sekunder. Sebab, pelaksanaan kurikulum pun  bergantung pada guru,” kata Amich yang menyelesaikan pendidikan master  (M.Ed.) bidang Education Policy di George Mason University, Virginia,  Amerika Serikat, 2003.
Simaklah ungkapan dalam bahasa Arab yang berbunyi, “Atthariqah ahammu min al-maddah. Al-mudarrisu ahammu min attariqah. Walakin ruh al-mudarrisu ahammu min al-mudarrisu nafsihi.”  Syair klasik ini bermakna, jalan/metode pembelajaran lebih penting  daripada materi/substansi kurikulum. Guru jauh lebih penting/utama  daripada metode. “Namun, roh/jiwa guru lebih penting dari sosok guru itu  sendiri. Ungkapan ini sejatinya mengandung pengertian bahwa menjadi  guru harus dilandasi oleh panggilan pengabdian — suatu passion yang memandu seseorang dalam menekuni profesi di dunia pendidikan,” ujar Amich.
Sungguh, peran guru sedemikian sentral yang berpengaruh pada  tinggi-rendahnya kinerja pendidikan, ujar Amich. Filsuf pendidikan  terpandang Amerika, John Dewey (1938), berujar, ”Buku merupakan sumber  pengetahuan, tetapi melalui gurulah pengetahuan dapat ditransmisikan  kepada peserta didik. Tamsil klasik mengatakan buku adalah rumah ilmu,  sedangkan guru adalah kunci pembukanya. Sering pula dikatakan guru  adalah jendela ilmu pengetahuan bagi para murid. Sangat jelas, guru  dengan kompetensi tinggi berpengaruh langsung pada hasil belajar  murid-muridnya, yang tercermin pada pencapaian akademik tinggi.
Dalam konteks peningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah telah  melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki mutu guru melalui program  peningkatan kualifikasi dan sertifikasi kompetensi, yang diharapkan  dapat meningkatkan kinerja guru. Pemerintah juga berkomitmen untuk terus  memperbaiki kesejahteraan guru melalui pemberian tunjangan profesi bagi  guru yang lulus sertifikasi komptensi.
”Untuk itu, guru dituntut pula meningkatkan kompetensi profesional dan pedagogis yang tercermin pada hasil belajar murid (student’s learning outcomes). Bagi seorang guru, kemampuan menguasai dua hal: subject-content knowledge dan pedagogical knowledge sekaligus merupakan suatu hal yang mutlak,” kata Amich.
Menjadi guru, kata Amich selanjutnya, dituntut punya pemahaman yang  baik dan mendalam mengenai dasar filosofis pendidikan, yang di dalamnya  mencakup pula ilmu pedagogis — cara mengajar dan mendidik anak di kelas.  Menjadi guru harus pula memahami tahapan tumbuh-kembang anak didik,  karena itu guru harus mendalami ilmu psikologi perkembangan anak (child development psychology).
”Penting pula diperhatikan, guru bekerja di suatu lingkungan sosial  tertentu — suatu komunitas sekolah yang menjadi miniatur masyarakat,  tempat berinteraksi antara sesama guru, anak didik, orangtua murid, dan  warga masyarakat. Untuk itu, guru pun harus memiliki bekal ilmu  sosiologi pendidikan, agar dapat memahami bagaimana sebuah sistem  persekolahan beroperasi di dalam masyarakat,” katanya.
Sumber : http://berita.upi.edu/?p=7639 
 



0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Atas Kunjungannya, Jangan Lupa Tinggalkan Komentar.
Tulis Komentar Yang Sopan Yahhh...